Welcome

***SELAMAT DATANG DI PPDI KOTA SERANG***

TERKINI

SANTRI SANGA DI SATU PESANTREN

            Ketika mesantren di pesantren Bunar asuhan Syekh Jaliman, Syekh Astari satu qurun bersama delapan orang sahabat yang kemudian kesembilan orang ini menjadi para ulama besar. Mereka adalah Syekh Nawawi mandaya, Syekh umar rancalang, Syekh Ardani Dangdeur, Syekh Balqi Paridan, Syekh Hamid Banten Girang, Syekh Sadeli Bogeg, syekh Jamhari (kemudian dijadikan menantu syekh Jaliman), Syekh Mustaya Binuang dan Syekh astari sendiri. Selain delapan teman itu syekh Astari juga sequrun dengan Ki Kharis Cisimut.
            Syekh Nawawi Mandaya berusia paling dewasa dibanding dengan delapan sahabat lainnya. Perbedaan umur antara Sekh Nawawi mandaya dan Syekh astari sekitar tigabelas tahun. Hal ini dapat disimpulkan karena pada saat ayah Syekh nawawi Mandaya yang bernama Syekh Muhammad Ali (pengarang kitab Murad Awamil) di buang ke Digul-Papua Barat atau irian Jaya pada tahun 1888 karena terlibat pemberontakan pada perang Geger cilegon, syekh Nawawi Mandaya sudah berumur duabelas tahun.

            Perang Geger Cilegon walaupun terjadi di cilegon tetapi lebih banyak melibatkan para ulama di daerah Banten Utara bagian timur seperti Syekh Abdul Karim Tanara, Syekh Asnawi Bendung, Ki Marzuki, Syekh Muhammad Ali Mandaya, Ki Arsyad towil (kemudian wafat di manado) dll. Ketika Syekh Muhammad Ali yang dibuang ke Digul bersama isteri dan anaknya (Syekh Nawawi mandaya) pulang dari digul dengan perahu layar. Terjadi sesuatu yang mengharuskan mereka menepi ke timur Kupang. Akhirnya Syekh Muhammad Ali memutuskan untuk menyebarkan agama di Timur Kupang dan menetap di sana sampai wafatnya. Sedangkan isteri dan anaknya kembali pulang ke Banten dan menetap di Mandaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar