Syekh Astari seperti
dikisahkan di atas, ketika mesantren di Syekh Jaliman berbarengan dengan
delapan santri yang kelak mereka menjadi para ulama besar. Di antara mereka
adalah Syekh Nawawi bin Muhammad Ali Mandaya. Usia Syekh Nawawi bisa dikatakan
paling dewasa. Suatu ketika Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk
membantu mengajar ngaji kepada para santri karena memang Syekh Nawawi sejak
kecil telah mendapat bimbingan langsung dari ayahandanya yaitu Syekh Muhammad
Ali. Bahkan dikisahkan ketika mesantren di Syekh Jaliman Syekh Nawawi telah
hafal kitab-kitab nadzam dan matan. Ketika pulang dari Digul pada usia duabelas
tahun bersama ibunya, Syekh Nawawi telah hafal kitab Murad awamil karangan
ayahnya. Maka tak heran kalau banyak orang yang mengira bahwa kitab tersebut
karangan Syekh Nawawi.
Ketika mendapat perintah gurunya
untuk mengajar para santri Syekh Nawawi bingung, bukan tidak mampu tapi apakah
ia pantas, itu fikirnya. Maka ia kemudian memohon kepada teman-teman
sekobongnya untuk sementara ia dibiarkan sendiri di dalam kamar. Kebetulan
beliau satu kobong dengan 8 sahabat yang disebutkan di atas.
Ternyata Syekh Nawawi tidak pernah
keluar dari kobong dalam waktu yang cukup lama. Kemudian hal itu di laporkan
kepada Syekh Jaliman, dan menurut syekh Jaliman para teman-temannya jangan mengganggu
Nawawi, biarkan saja ia dalam kobong sampai keluar dengan sendirinya. Setelah
ditunggu-tunggu akhirnya Syekh Nawawi keluar dari kobong setelah genap empat
puluh hari ampatpuluh malam. Setelah itu Syekh jaliman mempersiapkan kenduri
atau selametan untuk Syekh Nawawi karena bahagia mempunyai murid seperti Syekh
nawawi dan sebagai takriman wa ta’dziman kepada ayahnya seorang ulama pejuang
yang rela meninggalkan Nagari Banten yang di cintainya demi tugas dakwah di
negeri yang jauh di ujung Barat Nusantara.
Setelah tahannus selama empatpuluh
hari empatpuluh malam itulah akhirnya Syekh Nawawi mau membantu mengajar para
adik-adik santrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar