Setelah beberapa tahun Syekh Astari
mesantren di Syekh Jaliman, tibalah saat Syekh Astari untuk meninggalkan
pesantren Bunar. Yaitu saat Syekh Jaliman memerintahkan Syekh Nawawi untuk
pulang ke Mandaya dan mendirikan pesantren. Selain memerintahkan Syekh nawawi
pulang dan mendirikan pesantren, Syekh Jaliman juga memerintahkan delapan
sahabat untuk mengikuti Syekh Nawawi dan mengaji kepadanya. Walaupun sebenarnya
Syekh astari masih merasa betah tinggal di Bunar mengaji dengan Syekh jaliman,
tetapi karena ini perintah guru, syekh Astari tak pernah bertanya mengapa ia
langsung sam’an watoatan mentaati perintah gurunya. Dalam dunia pesantren
diajarkan ketaatan murid kepada guru adalah ibarat mayit ditangan gosil (orang
yang memandikan mayit).
Ketaatan
murid kepada guru adalah ketaatan dzohir dan batin. Jiwa raga seorang santri
dihadapan kiayinya adalah jiwa raga kepasrahan yang sempurna. Keberkahan dan
futuh dalam dunia pesantren adalah kunci kemanfaatan. Dan kunci kemanfaatan itu
bisa diraih hanyalah dengan kepasrahan yang sempurna kepada guru. Bahkan bila
kiayi memerintahkan muridnya untuk masuk ke dalam kobaran api yang
menyala-nyala maka seorang santri al-shodiq tidak akan bertanya mengapa ia
harus masuk ke dalam api tetapi ia akan langsung memasuki api itu dan tak akan
bertanya mengapa.
Demikianlah
jiwa raga syekh astari telah dipasrahkan
seluruhnya tanpa tersisa kepada Syekh jaliman. Ketika Syekh Jaliman
memerintahkan untuk mengikuti Syekh Nawawi ke mandaya, syekh Astari dan tujuh
sahabat lainnya taat.
Akhirnya
pengelanaan syekh astari dalam dunia ilmiyah sampai di Mandaya. Orang yang dulu
adalah teman sekobong, kini menjadi guru. Walaupun ia berguru kepada teman
mesantren, tetapi ketaatan dan hormat Syekh Astari kepada Syekh Nawawi tidak berkurang.
Dulu ia memasrahkan jiwa raganya kepada syekh jaliman, kini ia memasrahkan jiwa
raganya kepada Syekh Nawawi mandaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar