Setelah
kemerdekaan Indonesia Syekh Astari di sapa Tuhan dengan cintanya. Ia majdzub
terserat cahaya rabbani. Yaitu keadaan di mana seorang hamba lebur membaur
bersama kasih sayang tuhan atau dalam dunia sufi di sebut fana fillah. Keadaan
di mana dunia beserta segala isinya tiadalah menarik hatinya kecuali hanya
mengharap cinta dan keridoannya. Keadaan di mana hati ini sudah tiada
memperdulikan lagi segala apa pendapat makhluk kepadanya kecuali hanya
pandangan Allah.
Keadaan
di mana asa dan rasa telah terbakar hangus oleh api cinta yang membara kepada
Allah. Hakikat terasa begitu Nampak tak berselimut gerhana basyariyah. Yang ada
hanya Tuhan, tiada yang lain lagi. Hati terasa begitu ringan tanpa beban.
Bersinar sejuk putih mempesona tiada tara. Tiada lagi hiqid terselip. Tiada
lagi luka akibat benci. Tiada noda hasad. Berkemilau bagai berlian. Dan anggun
bagai mutiara tanah Lombok.
Demikianlah
jalan hidup Syekh astari. Allah memilihnya untuk menjadi bagian dari
kekasihNya, wali-Nya yang menjadi oase bagi hamba-hambaNya di tengah gersangnya
kehidupan rohani.
Syekh
astari kemudian mewaqafkan hidupnya hanya untuk kebahagiaan sesame. Ia
berkeliling membangun masjid-masjid dan majlis taklim. Ia buka jalan-jalan baru
untuk dapat dilalui manusia. Ia membuat irigasi untuk pemandian masarakat dan
pertanian. Ia buat danau-danau kecil di depan masjid dan di tengah
perkampungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar